Sunday 21 February 2010

Mengenal Ahlussunnah wa Al-Jamaah

Mengenal Ahlussunnah wa Al-Jamaah

Sebelum terjadinya fitnah dengan munculnya berbagai macam bid’ah, perpecahan dan perselisihan dalam ummat ini, ummat islam tidak dikenal kecuali dengan satu nama yaitu Islam. Akan tetapi setelah terjadinya fitnah dan perpecahan, muncullah golongan-golongan sesat yang mana setiap golongan menyerukan dan memprogandakan bid’ah dan kesesatannya dengan nama Islam. Hal ini tentunya menimbulkan kebingungan di tengah-tengah ummat, manakah ajaran Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam yang sebenarnya, yang belum bercampur dengan berbagai bentuk kesesatan, karena semua kelompok dengan beraneka ragam ajaran mereka yang berbeda, semuanya mengaku bahwa merekalah yang berada di atas ajaran Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam yang murni.
Hanya saja Allah Yang Maha Hikmah lagi Bijaksana telah menetapkan suatu keputusan dengan dalam firmannya:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. Al-Hijr : 9)
Ayat ini menunjukkan keharusan ajaran Islam yang murni yang dibawa oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam pertama kali tidak akan lenyap dan tidak akan tertutupi oleh kebatilan. Karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiq kepada para ulama salaf ketika itu, sehingga mulailah mereka menampakkan penamaan-penamaan syariat yang terambil dari agama Islam sendiri, berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang bisa membedakan antara pengikut kebenaran dengan golongan-golongan sesat tersebut.
Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Dulunya mereka tidak pernah bertanya tentang sanad. Akan tetapi setelah terjadinya fitnah, mereka pun mulai bertanya, “Sebutkan kepada kami rawi-rawi kalian!”, lalu dilihat kepada Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya dan dilihat kepada ahli bid’ah maka tidak diambil haditsnya (1)”. (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim)
Maka berikut ini kami akan mencoba menguraikan secara rinci penamaan yang Ibnu Sirin sebutkan di atas, yaitu nama Ahlussunnah atau selengkapnya: Ahlussunnah wa al-jama’ah. Dengan harapan semoga kaum muslimin bisa mengetahui siapa sebenarnya yang pantas dijadikan rujukan dalam beragama, wallahul muwaffiq.

Definisi Ahlussunnah wa al-jama’ah.
Ini adalah salah satu penamaan lain dari salaf yang maknanya sama persis dengan makna salaf yang telah kita uraikan di atas, berikut uraiannya :
1. Secara bahasa :
Sunnah adalah jalan baik maupun jelek, lurus maupun sesat, sebagaimana dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam beliau bersabda :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً … وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً
“Barangsiapa yang membuat dalam Islam sunnah yang baik … dan barangsiapa yang membuat dalam Islam sunnah yang jelek …”. (HR. Muslim)
Adapun jama’ah secara bahasa bermakna menyatukan sesuatu yang terpecah, maka jama’ah adalah lawan kata dari perpecahan.
{Lihat : Lisanul ‘Arab (17/89) dan Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah (1/29-33)}

2. Secara Istilah :
Sunnah yang diinginkan dalam penamaan ini adalah sunnah dalam artian umum yaitu Islam itu sendiri secara sempurna yang meliputi ‘aqidah, hukum, ibadah dan seluruh bagian syariat. Makna inilah yang ditunjukkan oleh kebanyakan hadits Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, di antaranya :
1. Hadits Anas bin Malik secara marfu’:
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Barangsiapa yang membenci sunnahku maka bukan termasuk golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2. Hadits ‘Irbadh bin Sariyah secara marfu’:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌ, فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ, تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Saya berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada pemerintah) walaupun (pemerintah tersebut) seorang budak Habasyi, karena sesungguhnya barangsiapa yang tetap hidup di antara kalian maka dia akan melihat perselisihan yang sangat banyak,maka wajib atas kalian (untuk mengikuti) sunnahku dan sunnah para khulafa` yang mendapatkan hidayah dan petunjuk, berpegang teguhlah kalian dengannya serta gigitlah ia dengan gigi geraham kalian”. (HR. Imam Empat kecuali An-Nasai)
3. Hadits Abu Hurairah secara marfu’:
يآ أَيُّهَا النَّاسُ, إِنِّي تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا : كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِي
”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya saya telah tinggalkan untuk kaliansuatu perkara yang kalau kalian berpegang teguh kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat selamanya ; yaitu kitab Allah dan Sunnahku”. (HR. Al-Hakim dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany)

Dan makna ini pula yang disebutkan oleh para ulama, di antaranya :
Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata di awal kitab beliau Syarhus Sunnah : “Ketahuilah sesungguhnya Islam itu adalah sunnah dan sunnah adalah islam dan tidaklah tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya”.
Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa (4/180) menukil dari Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Malik Al-Karkhy bahwa beliau berkata, “Ketahuilah bahwa sunnah adalah jalan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam serta mengupayakan untuk menempuh jalannya dan ia (sunnah) ada 3 bagian: Perkataan, perbuatan dan akidah”.
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Sunnah adalah suatu jalan yang ditempuh dan jalan itu mencakup berpegang teguh terhadap apa-apa yang beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berada di atasnya dan para khalifahnya yang mendapat petunjuk berupa keyakinan, amalan dan perkataan. Inilah makna sunnah yang sempurna, karena itulah para ulama salaf terdahulu tidak menggunakan kalimat sunnah kecuali apa-apa yang meliputi seluruh hal itu. Hal ini diriwayatkan dari Al-Hasan, Al-Auza’i dan Fudhail bin ‘Iyadh”. Lihat Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam hal 249
Dari penjelasan makna sunnah secara umum di atas akan memberikan gambaran yang jelas kepada kita tentang siapakah sebenarnya Ahlus Sunnah (pengikut sunnah) itu. Berikut beberapa perkataan para ulama dalam memberikan definisi Ahlus Sunnah :
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (3/375) berkata, “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan apa-apa yang disepakati oleh orang-orang terdahulu lagi pertama dari kalangan shahabat Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam Al-Fishal (2/281), “… dan Ahlus Sunnah yang telah kami sebutkan adalah ahlul haq (pengikut kebenaran) dan selain mereka adalah ahlul bid’ah, maka ahlus sunnah mereka itulah para shahabat radhiallahu ‘anhum dan siapa saja yang menempuh jalan mereka dari orang-orang pilihan dari kalangan tabi’in kemudian ashhabul hadits (pakar hadits) dan siapa saja yang mengikuti mereka dari para ahli fiqh dari zaman ke zaman sampai hari kita ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dari orang awwam di Timur maupun di Barat bumi rahmatullah ’alaihim“.
Dan Ibnul Jauzy berkata dalam Talbis Iblis hal. 21, “Tidak ada keraguan bahwa pakar riwayat dan hadits yang mengikuti jejak Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan jejak para sahabatnya mereka itulah Ahlu Sunnah karena mereka di atas jalan yang belum terjadi perkara baru (bd’ah) padanya, karena perkara baru dan bid’ah hanyalah terjadi setelah (zaman) Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan para sahabatnya”.

Adapun Al-Jama’ah secara istilah, maka para ulama berbeda menjadi enam penafsiran tentang makna jama’ah yang tersebut di dalam hadits-hadits Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, semisal:
1. Hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu tentang perpecahan ummat, Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda :
وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
فِي رِوَايَةٍ : مَنْ كَانَ عَلَى مِثْلِ مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
“Sesunggunya agama (ummat) ini akan terpecah menjadi 73 (kelompok), 72 di (ancam masuk ke) dalam Neraka dan satu yang didalam Surga, dia adalah Al-Jama’ah”. (HR. Ahmad dan Abu Daud dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dan juga mirip dengannya dari hadits Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Dalam suatu riwayat, “(Al-Jama’ah adalah) siapa yang berada di atas seperti apa yang saya dan para shahabatku berada di atsnya”. (Hadits hasan dari seluruh jalan-jalannya)
2. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda :
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal (menumpahkan) darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada sembahan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa saya adalah Rasululullah kecuali dengan salah satu dari tiga perkara : Orang yang telah berkeluarga yang berzina, jiwa dengan jiwa dan orang yang meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari Al-Jama’ah”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
3. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ …
“… Karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari Al-Jama’ah walaupun sejengkal lalu dia mati kecuali dia mati di atas bentuk matinya jahiliyah”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada pemerintah) dan memisahkan diri dari Al-Jama’ah …”. (dari Shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Hanya saja yang perlu diketahui bahwa keenam penafsiran yang disebutkan oleh para ulama tidak ada yang saling bertentangan dan saling menafikan, bahkan semuanya menunjukkan makna Al-Jama’ah yang syar’i dalam Islam. Secara umum keenam penafsiran ini bisa dikembalikan kepada dua penafsiran sebagaimana yang diisyaratkan oleh imam Al-Khoththobi rahimahullah, yaitu :
1. Jama’atul Adyan (Jama’ah dalam agama) yaitu pengikut kebenaran dari kalangan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan para ulama dan selainnya, walaupun dia hanya seorang diri. Ini adalah penafsiran Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Imam Al-Barbary, Ibnu Katsir, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, Al-Bukhary, At-Tirmidzy dan lain-lainnya rahimahumullah.
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Al-Jama’ah adalah apa-apa yang sesuai dengan kebenaran walaupun engkau sendirian”.
2. Jama’atul Abdan (Jama’ah badan) yaitu jama’ah kaum muslimin jika mereka bersepakat berkumpul di bawah satu pimpinan (Negara yang syah), dan ini adalah penafsiran Ibnu Jarir Ath-Thobary dan Ibnul Atsir rahimahumallah.
Inilah dua makna Al-Jama’ah yang tsabit dan benar dalam syari’at Islam, tidak ada makna ketiga. Lihat kitab Al-‘Uzlah karya Al-Khoththoby rahimahullah.

Dari sini kita bisa mengetahui jelasnya kebatilan pembentukan jama’ah-jama’ah baru dalam Islam, karena kalau yang mereka inginkan dengan makna jama’ah adalah makna yang pertama maka pemimpinnya dan yang wajib ditaati dan dilaksanakan perintahnya hanya satu yaitu Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tidak ada orang kedua, dan jika mereka menginginkan dengannya makna yang kedua maka pemimpin yang wajib didengar dan ditaati serta yang berhak diberikan bai’at kepadanya juga hanyalah satu orang yaitu pemimpin Negara dalam hal ini di Indonesia adalah seorang Presiden, bukan ‘imam-imam’ yang dibentuk oleh masing-masing jama’ah, karena perbuatan ini justru merupakan pemecahbelahan ummat dan merupakan suatu bentuk perbuatan khuruj (kudeta) kepada pemerintah yang syah.

Sebagai kesimpulan maka kita katakan: Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah suatu penamaan ataupun sifat yang dimiliki oleh setiap orang yang mengikuti dengan baik jalannya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan para shahabat beliau dari kalangan para ulama sampai orang-orang awwamnya ummat ini, dia bukan suatu nama organisasi atau kelompok atau jama’ah buatan orang-orang belakangan akan tetapi Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah penamaan lain dari Islam itu sendiri yang murni dari berbagai bentuk bid’ah dan penyimpangan. Maka siapapun orangnya, di belahan bumi manapun dia berada dan apapun warna kulitnya semuanya bisa bernama dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepanjang dia komitmen dengan Al-Kitab dan Sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam sesuai dengan pemahaman para shahabat walaupun dia hanya seorang diri tanpa ada orang yang mengikutinya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu.

{Lihat : Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah (1/29-37 dan 47-54), Al-I’tishom (2/767-776) dan Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asy’ariyah (1/26-32)}.

_______________
(1) Maksudnya : Sebelum terjadinya fitnah dengan terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan, bila ada yang membawakan hadits dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam maka langsung diterima tanpa mempertanyakan asal pengambilannya. Akan tapi setelah terjadinya fitnah, kaum musliminpun sadar bahwa di antara mereka ada orang-orang yang menghendaki kerusakan Islam, sehingga ketika ada yang membawakan hadits dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mereka mulai bertanya dari mana dia mendengar hadits itu. Bila nama yang dia sebutkan adalah ahlus sunnah maka baru diterima haditsnya dan demikian pula sebaliknya.

sumber : www.al-atsariyyah.com
Baca...

Saturday 20 February 2010

Pembahasan Lengkap Shalat Sunnah Rawatib

February 11th 2010 by Abu Muawiah | Kirim via Email

Pembahasan Lengkap Shalat Sunnah Rawatib

Tanya:
Assalaamualaykum warohmatullahi wabarokatuh. Saya baru belajar mendalami agama Allah yg sebenarnya, yg mengikut al-Qur’an dan hadist dan sunnah para sahabat dan imam. Ada yg ingin saya tanyakan? Masalah shalat sunnah dalam menjalankan shalat lima waktu. Ada yg boleh dikerjakan dan tidak. Maksudnya shalat sunnah yang boleh dikerjakan waktu mengerjakan shalat wajib lima waktu: Yg mana boleh di kerjakan dan mana yang tidak?
Tolong diberi penjelasannya …
Fauzan

Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Mungkin yang anda maksud adalah shalat sunnah rawatib (yang berada sebelum dan setelah shalat wajib). Ada tiga hadits yang menjelaskan jumlah shalat sunnah rawatib beserta letak-letaknya:
1. Dari Ummu Habibah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلَّا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
“Tidaklah seorang muslim mendirikan shalat sunnah ikhlas karena Allah sebanyak dua belas rakaat selain shalat fardhu, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.” (HR. Muslim no. 728)
Dan dalam riwayat At-Tirmizi dan An-Nasai, ditafsirkan ke-12 rakaat tersebut. Beliau bersabda:
مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنْ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ
“Barangsiapa menjaga dalam mengerjakan shalat sunnah dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga, yaitu empat rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya` dan dua rakaat sebelum subuh.” (HR. At-Tirmizi no. 379 dan An-Nasai no. 1772 dari Aisyah)

2. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu dia berkata:
حَفِظْتُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الصُّبْحِ
“Aku menghafal sesuatu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa shalat sunnat sepuluh raka’at yaitu; dua raka’at sebelum shalat zuhur, dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah shalat maghrib di rumah beliau, dua raka’at sesudah shalat isya’ di rumah beliau, dan dua raka’at sebelum shalat subuh.” (HR. Al-Bukhari no. 937, 1165, 1173, 1180 dan Muslim no. 729)
Dalam sebuah riwayat keduanya, “Dua rakaat setelah jumat.”
Dalam riwayat Muslim, “Adapun pada shalat maghrib, isya, dan jum’at, maka Nabi r mengerjakan shalat sunnahnya di rumah.”

3. Dari Ibnu Umar dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا
“Semoga Allah merahmati seseorang yang mengerjakan shalat (sunnah) empat raka’at sebelum Ashar.” (HR. Abu Daud no. 1271 dan At-Tirmizi no. 430)

Maka dari sini kita bisa mengetahui bahwa shalat sunnah rawatib adalah:
a. 2 rakaat sebelum subuh, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.
b. 2 rakaat sebelum zuhur, dan bisa juga 4 rakaat.
c. 2 rakaat setelah zuhur
d. 4 rakaat sebelum ashar
e. 2 rakaat setelah jumat.
f. 2 rakaat setelah maghrib, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.
g. 2 rakaat setelah isya, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.

Lalu apa hukum shalat sunnah setelah subuh, sebelum jumat, setelah ashar, sebelum maghrib, dan sebelum isya?
Jawab:
Adapun dua rakaat sebelum maghrib dan sebelum isya, maka dia tetap disunnahkan dengan dalil umum:
Dari Abdullah bin Mughaffal Al Muzani dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ قَالَهَا ثَلَاثًا قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ
“Di antara setiap dua adzan (azan dan iqamah) itu ada shalat (sunnah).” Beliau mengulanginya hingga tiga kali. Dan pada kali yang ketiga beliau bersabda, “Bagi siapa saja yang mau mengerjakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 588 dan Muslim no. 1384)
Adapun setelah subuh dan ashar, maka tidak ada shalat sunnah rawatib saat itu. Bahkan terlarang untuk shalat sunnah mutlak pada waktu itu, karena kedua waktu itu termasuk dari lima waktu terlarang.
Dari Ibnu ‘Abbas dia berkata:
شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ
“Orang-orang yang diridlai mempersaksikan kepadaku dan di antara mereka yang paling aku ridhai adalah ‘Umar, (mereka semua mengatakan) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat setelah Shubuh hingga matahari terbit, dan setelah ‘Ashar sampai matahari terbenam.” (HR. Al-Bukhari no. 547 dan Muslim no. 1367)
Adapun shalat sunnah sebelum jumat, maka pendapat yang rajih adalah tidak disunnahkan. Insya Allah mengenai tidak disyariatkannya shalat sunnah sebelum jumat akan datang pembahasannya tersendiri, wallahu Ta’ala a’lam.
Baca...
Keutamaan Shalat

February 15th 2010 by Abu Muawiah | Kirim via Email

1 Rabiul Awwal

Keutamaan Shalat

Abdullah bin Umar  berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun atas lima pondasi: Yaitu persaksian bahwa tidak ada sembahan (yang berhak disembah) melainkan Allah, bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)
Dari Ibnu Umar  bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sembahan (yang berhak disembah) kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 25 dan Muslim no. 21)
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata: Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلَاةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
“Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah shalatnya. Rabb kita Jalla wa ‘Azza berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih mengetahui-, “Periksalah shalat hamba-Ku, sempurnakah atau justru kurang?” Sekiranya sempurna, maka akan dituliskan baginya dengan sempurna, dan jika terdapat kekurangan maka Allah berfirman, “Periksalah lagi, apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah?” Jikalau terdapat shalat sunnahnya, Allah berfirman, “Sempurnakanlah kekurangan yang ada pada shalat wajib hamba-Ku itu dengan shalat sunnahnya.” Selanjutnya semua amal manusia akan dihisab dengan cara demikian.” (HR. Abu Daud no. 964, At-Tirmizi no. 413, An-Nasai no. 461-463, dan Ibnu Majah no. 1425. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 2571) Read the rest of this entry »
Baca...